Evaluasi pelatihan, dan cara perhitungan


Banyak pihak yang menanyakan mengenai apakah pelatihan perlu dievaluasi dan  menagapa? Pelatihan perlu dilakukan evaluasi dikarenakan pelatihan merupakan salah satu kegiatan dalam perusahaan yang dilakukan sebagai investasi dalam mengembangkan tenaga kerja yang dimiliki, oleh karena itu perlu dilakukan sebauah pengukuran seberapa efektif investasi yang dilakukan tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara mengevaluasi pelatihan? Untuk melakukan evaluasi pelatihan, kita dapat merujuk kepada model yang dikembangkan oleh Donald Kirkpatrick, beliau adalah seorang profesor di Emeritus of the University of Wisconsin in North America dan President dari the American Society for Training and Development (ASTD) yang terkenal dengan model evaluasi pelatihan yang terdiri dari 4 tingkat evaluasi pelatihan. Ide ini pertama kalai diperkenalkan pada tahun 1959 dalam sebuah seri artikel dalalm US Training and Development Journal namun penjabaran lebih lengkapnya ada pada buku yang diterbitkan pada tahun 1975 dengan judul "Evaluating Training Programs".

Evaluasi pelatihan, dan cara perhitungan

Seperti yang telah dijabarkan di atas mengenai evaluasi pelatihan, dengan merujuk pada model yang dikembangkan oleh Donald Kirkpatrick, 4 tingkatan yang dimaksudkan adalah :
  1. Evaluasi pada tingkat reaksi (Reaction level).
Pada evaluasi ini yang diukur dan dinilai adalah reaksi peserta. Dalam hal ini diukur tingkat kepuasan peserta terhadap program pelatihan yang diselenggarakan, sehingga dapat dilakukan perbaikan atas program tersebut atau saya lebih suka menyebutnya ini adalah efektifitas pelaksanaan pelatihan tersebut.Walaupun ada beberapa pihak yang sengaja melewatkan evaluasi tingkat 1 ini karena alasan tidak secara langsung berhubungan dengan pelatihan, namun ini perlu dilakukan dikarenakan bila ada sesuatu yang mengganggu peserta dalam pelatihan, maka hal tersebut dapat mengganggu kemampuan penerimaan peserta terhadap materi pelatihan, sebagai contoh : bila tempat pelatihan tidak layak (bising, panas, dll) maka dapat mempengaruhi peserta dalam mengikuti pelatihan seperti mengantuk dan sebagainya. Begitu juga dengan instruktur yang kurang menarik, akan membuat peserta merasa tersiksa dalam pelatihan sehingga materi pelatihan akan menguap begitu saja.
Untuk cara perhitungan dari tingkat ini dapat dilakukan dengan metode kuisoner yang diberikan kepada peserta pelatihan untuk mengetahui pelatihan tersebut di mata peserta. Kuisioner yang di bagikan memuat pertanyaan mengenai pelatihan yang diikuti peserta,
contoh :
“Seberapa baik pelatihan ini dari segi kualitas materi”  1 2 3 4 5
keterangan :
1          =          Tidak Baik
2          =          Kurang
3          =          Cukup
4          =          Baik
5          =          Baik Sekali

Semisal dari rekap hasil kuisioner tersebut diperoleh rata-rata 3,65,  sehingga dapat dikatakan bahwa pelatihan tersebut dari segi kualitas materi adalah cukup memadai.
  1. Evaluasi pada tingkat pembelajaran (Learning Level).
Evaluasi ini dilakukan dengan tujuan utama mengukur seberapa jauh perubahan kompetensi para peserta segera setelah pelatihan berakhir, sebelum mereka kembali bekerja. Dengan kata lain, tujuan evaluasi pada tingkat ini adalah peningkatan kompetensi peserta dalam kelas dan untuk mengidentifikasikan keberhasilan komponen sistem pelatihan (metode, materi, dll).
Cara melakukan evaluasinya bagaimana? Caranya adalah dengan memperbandingkan antara pengetahuan peserta mengenai pelatihan tersebut sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan, secara umum kita pre test dan post test. Seberapa besar tingkat pencapaian pengetahuan dibaca melalui prosentasi perbandingan re test dan post tes tersebut.
Secara rumus, dapat dituliskan sebagai berikut :
%  =(( post test – pre test)/post test) x 100%

Contoh  :
Rata-rata hasil post test = 80
Rata-rata hasil pre test = 60
% = ((80-60)/60) x 100%
    = 33,33%

Maka dapat dikatakan pelatihan tersebut dapat meningkatkan pemahaman peserta pelatihan terhadap isi dari peltihan tersebut sebesar 33,33%.
  1. Evaluasi pada tingkat perilaku dalam pekerjaan (On the job behavioral Level).
Evaluasi pada tingkat ini yang diukur adalah pengaruh program pelatihan terhadap penerapannya ditempat kerja. Dengan kata lain, tujuan evaluasi pada tahap ini adalah perbaikan perilaku peserta dalam pekerjaan. Evaluasi ini dilakukan salah satunya dengan cara kuisioner yang diberikan kepada atasan dari peserta pelatihan setelah beberapa waktu dari pelatihan tersebut. Jeda waktu diberikan agar peserta pelatihan mempunyai waktu untuk menerapkan hasil pelatihan yang diperolehnya.

Contoh :
Hasil dari kuisioner yang diberikan pada atasan peserta pelatihan membuat baju adalah sebesar 2,90 dengan menggunakan kategori nilai 2,1 – 3,0  adalah baik, maka dapat dikatakan pelatihan membuat baju tersebut dalam kategori baik dan memberikan kontribusi terhadap unit kerja dari peserta pelatihan.
  1. Evaluasi pada tingkat hasil (Result level).
Evaluasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengukur seberapa jauh peningkatan produktivitas yang dicapai pekerja, serta unit kerja, setelah mengikuti program pelatihan. Atau untuk menentukan apakah manfaat pelatihan lebih tinggi dibanding dengan biaya yang telah dikeluarkan.
Selain 4 tingkat dalam evaluasi pelatihan tersebut, JJ Phillips menyarankan untuk menambahkan tingkatan selanjutnya yaitu Return on Investment (ROI), yang intinya adalah membandingkan 4 tingkatan dalam evaluasi pelatihan terhadap keseluruhan biaya pelatihan. Namun menurut Roger Kaufman, ROI masih berada dalam lingkup 4 tingkatan dalam evaluasi pelatihan, sedangkan masih menurut beliau tingkatan yang kelima adalah fokus pada dampak dari organisasi terhadap klien eksternal dan masyarakat. Di sini saya lebih setuju dan cenderung pada pendapat Roger Kaufman yang memasukkan ROI pada level 4.
ROI sendiri merupakan sebuah ukuran untuk mengetahui nilai balik modal dan kefektifan dari investasi yang diberikan, biasanya dibandingkan dengan suku bunga bank. Perbandingan ini digunakan untuk dapat mengatakan investasi tersebut memang menguntungkan bagi investor, jika hasil perhitungan ROI tersebut lebih rendah dari bunga bank yang diperbandingkan maka dianggap investasi terebut tidak layak. Kenapa demikian? Ini dikarenakan secara sederhanaya, lebih baik kita menivestasikan uang kita ke bank dengan mendapat bunga bank sejumlah sekian prosen tanpa harus bersusah payah dan pusing bila dibandingkann di investasikan ke kegiatan yang memberikan imbal balik lebih kecil dibandingkan di bank. Secara rumus, dapat dituliskan sebagai berikut :
 ROI (%) = [(Manfaat Pelatihan – Biaya Pelatihan): Biaya Pelatihan] X 100%

Dimana manfaat pelatihan baik yang tangible maupun intangible dikonverikan dalam bentuk nominal uang untuk menyamakan satuan dengan baiaya pelatihan yang dikeluarkan. Namun di sini diperlukan suatu asumsi dasar bahwa keadaan sebelum dan sesudah pelatihan adalah sama, tanpa asumsi ini akan sangat sulit untuk melakukan pengukuran terhadapl level 4 ini.

Contoh:
Biaya pelatihan untuk membuat tahu dengan metode yang baru menelan biaya sebesar Rp.  1.000.000. 3 bulan setelah pelatihan tersebut, ternyata keuntungan perusahaan tahu meningkat dari Rp. 1.000.000 menjadi Rp. 1.500.000 dnegan suku bunga yang berlaku sekarang sebesar 6% dan asumsi semua keadaan adalah tetap. Dari rumus di atas kita dapat menghitung ROI dari pelatihan tersebut, yaitu :
ROI = ((1.500.000 – 1.000.000)/1.000.000) x 100%
        = (500.000/1.000.000) x 100%
        = 50% 
  Maka bila dibandingkan antara ROI dengan Suku Bunga Bank, maka dapat dikatakan jika investasi pelatihan membuat tahu dengan metode baru tersebut memang menguntungkan bagi perusahaan.

Dengan melakukan evaluasi terhadap pelatihan, perusahaan dapat mengoptimalkan penggunaan biaya untuk pelatihan dan meningkatkan bisnis perusahaan sekaligus memupus mitos bahwa kegiatan SDM tidak dapat diukur (baca selengkapnya tentang mitos SDM)

Referensi :
 



Komentar

Postingan Populer